Chapter Bab 75
Bab 75 Alasan Kecelakaan Itu
Setelah menutup telepon, Kayla langsung menelepon polisi. Sepuluh menit kemudian, polisi datang. Polisi menginterogasi setiap orang yang terlibat, lalu membujuk pemilik rumah dan yang lainnya pergi.
Suara umpatan memudar dan Kayla pun tidak mengantuk lagi. Dia duduk bersila di sofa, lalu membuka sebuah situs web untuk mencari rumah yang cocok.
Karena mereka sudah bertengkar malam ini, dia tidak mungkin tinggal di sini lagi.
Tepat ketika dia tertarik pada sebuah rumah dan hendak mengklik halaman tersebut, ponselnya berdering. Penelepon menggunakan nomor asing luar negeri.
Kayla tidak mempunyai teman di luar negeri. Dulu, kalau dia mengalami situasi seperti ini, dia akan menganggap penelepon sebagai penipu dan langsung menolak telepon, tapi kali ini ….
Dia menatap serangkaian angka dan merenung untuk cukup lama. Akhirnya, sebelum panggilan terputus secara otomatis, dia mengusap layar untuk menjawab telepon. “Halo.”
Terdengar suara Martin Sandio yang familier dari ujung lain telepon. “Kayla, ini Ayah.”
Kayla sudah tahu bahwa ayahnya yang menelepon. Mendengar ucapan ini, dia pun berkata dengan
kesal “Ada apa?”
“Ayah hanya ingin menanyakan kabarmu selama beberapa tahun ini. Sebelumnya….”
Kayla menyela, “Langsung katakan intinya, kalau nggak ada urusan penting, akan kututup.”
Kalau bukan karena ingin mendapatkan kembali barang peninggalan ibunya, dia tidak akan menjawab
panggilan ini!
Martin emosi hingga menarik napas dalam–dalam untuk menenangkan diri. “Kemarin adikmu menelepon dan mengatakan bahwa dia tertarik pada Davin. Carilah waktu untuk mengajak mereka makan bersama, sekalian perkenalkan mereka.”
Kayla terdiam, dia sudah menduga Martin meneleponnya karena hal ini.
Mendengar Kayla tidak menjawab, Martin mulai melunakkan sikapnya. “Ayah tahu kamu enggan tapi
Viola adalah saudaramu. Meskipun kamu menikah dengan Keluarga Oliver, hubunganmu dengan Pak
Theo kurang baik… dia bisa mencampakkanmu kapan saja. Tapi kalau adikmu menikah dengan Davin,
sekalipun Pak Theo menceraikanmu, Viola bisa menjadi sandaranmu. Dia akan membiayai semua
kebutuhanmu hidupmu.”
Kayla langsung mengajukan syarat. “Kembalikan barang–barang ibuku.”
“Semua barang–barang itu dibawa ke Negara Raxia. Proses pengiriman paket internasional sangat ketat, bagaimana kalau hilang di perjalanan?”
Barang apaan? Martin sudah menjual semua barang yang dapat dijual dan membuang semua barang yang tidak berhargal.
“Ya sudah kalau begitu.”
Kayla langsung menutup telepon. Detik berikutnya, Martin meneleponnya lagi.
“Aku akan segera mengirimkannya padamu. Cepat perkenalkan mereka, adikmu sudah nggak sabar.”
Kali ini nada bicaranya terdengar sangat kesal, dia tidak segan lagi.
Kayla terdiam beberapa saat sebelum bertanya, “Kamu pergi ke mana saat ibuku kecelakaan?”
“Sudah kubilang malam itu nenekmu nggak enak badan, aku pergi menjenguknya.”
“Kamu sudah keluar dari jam delapan, tapi jam sebelas baru sampai ke rumah tua.”
Jarak kediaman Keluarga Sandio dengan rumah tua hanya setengah jam. Kayla ingat bahwa ibunya kecelakaan sekitar pukul sembilan. Taksi yang ditumpangi ibunya melaju kencang hingga menabrak truk yang diparkir di pinggir jalan.
Kebetulan jalan itu sedang dalam perbaikan dan separuh lampu jalan disingkirkan hingga jalanan menjadi sangat gelap. Truk itu parkir sembarangan tanpa menyalakan lampu, bisa dibilang truk itu juga harus bertanggung jawab atas kecelakaan ini.
Biasanya ibunya mengendarai mobil pergi bekerja. Namun saat itu, kebetulan Martin sedang mengerjakan sebuah proyek di dekat tempat kerja ibunya dan perlu memeriksa proyek itu setiap hari. Jadi, Martin yang mengemudikan mobil dan menawarkan untuk menjemput ibunya sepulang kerja.
Kecuali malam itu. Malam di mana ibunya kecelakaan!
Martin sangat marah hingga berseru dengan kesal, “Polisi sudah bilang kalau itu adalah kecelakaan, tapi kamu masih saja mempermasalahkannya. Kenapa? Apa kamu kira aku membunuh ibumu? Kalau bukan
karena hari itu kamu membuat nenekmu marah hingga sakit Jantung dan nggak enak badan, apa mungkin aku nggak pergi menjemput ibumu? Kalau mau membahas soal siapa yang membunuh ibumu, kamulah pelakunya!”
Setelah berkata demikian, Martin langsung menutup telepon. Kayla pun menggigit bibirnya sambil
mengendalikan emosinya….
Dia tidak tidur semalaman dan terus membayangkan senyuman ibunya.
Keesokan paginya, setelah bangun, Kayla langsung pergi ke perusahaan properti untuk melihat rumah. Semua rumah yang dia pilih berada di sekitar, Jadi dia segera mendapatkan rumah yang cocok. Mereka akan menandatangani kontrak setelah pemilik rumah pulang.
Oleh karena itu, Kayla pulang untuk mengemasi barang–barangnya. Namun, ketika dia keluar dari lift, dia melihat seorang pria berdiri di depan pintu rumahnya. Pria itu sepertinya sedang mencoba membuka kunci rumahnya.
Kayla mengangkat alat pemadam kebakaran sambil bertanya, “Apa yang kamu lakukan di depan
rumahku?”
Karena sedang fokus membuka kunci, pria itu dikejutkan oleh suara Kayla. Dia hampir melompat dari
posisi semula dan langsung berbalik untuk melihat kayla.
Pria itu buru–buru menjelaskan. “Jangan salah paham, pemilik rumah yang menyuruhku membuka kunci pintu. Apa dia ibumu? Tadi dia masih berada di sini, tapi dia sedang pergi menjawab telepon.
Ekspresi Kayla berubah muram. “Aku adalah penyewa rumah dan kontrak belum berakhir. Saat ini akulah pengguna rumah ini dia nggak berhak menyuruh orang lain membuka kunci rumahku …..
Sebelum dia selesai berbicara, pemilik rumah muncul dari jalur keamanan sambil berkata, “Ini rumahku,
terserah aku mau ngapain. Aku nggak ingin menyewakannya padamu lagi, cepat pindah!”
“Apa kamu ingin tinggal di kantor polisi selama beberapa hari lagi?”
Mendengar kantor polisi“, pemilik rumah yang tadinya sombong pun ketakutan!
“Nak, aku benar–benar perlu menjual rumahku. Tolong maklum! Begini, aku akan mengembalikan semua
uang sewa dan jaminan yang kamu bayarkan padaku. Anggap saja aku membiarkanmu tinggal gratis
selama ini?”
“Nggak perlu tinggal gratis, aku akan pindah setelah kontrak habis.”
“Nak anggap aku minta tolong padamu!” Pemilik rumah tampak sangat tertekan, dia menangis tersedu-
sedu hingga wajahnya dipenuhi dengan air mata.
Dengan begitu, Kayla pun membawa kopernya pergi menandatangani kontrak.
Siang hari pemilik rumah berani memanggil tukang kunci untuk menyelinap masuk ke dalam rumahnya,
entah apa yang akan dia lakukan pada malam hari. Kayla tidak mungkin tinggal di sana lagi.
Ketika Kayla tiba, pemilik rumah yang baru belum datang. Setelah menunggu beberapa saat, agen properti menghampirinya dengan sungkan. “Maaf, Nona Kayla. Pemilik rumah bilang dia nggak mau
menyewakan rumahnya.”
Kayla mengerutkan keningnya. Mendadak sekali, pasti ada dalang di balik semua ini!
Theo, si pria berengsek itu!
Dia mengumpat Theo dalam hati sambil bertanya pada agen properti itu, “Bagaimana kalau aku menyewa rumah lainnya?”
“Maat, Nona Kayla. Sementara kami belum punya rumah yang cocok untukmu.”
Tadi pagi, agen properti itu menawarkan puluhan rumah untuknya, tetapi sekarang semua rumah sudah tidak tersedia. Kayla sudah menduga hasil ini, jadi dia pun malas berdebat dan langsung membawa kopernya pergi.
Sebelum pergi, dia mengirimkan pesan kepada Theo.
“Aku lebih baik tidur di kolong jembatan daripada memohon padamu. Theo berengsek!”
“Kalau kamu hebat, belilah semua rumah di dunia ini. Kalau nggak, aku sangat meremehkanmu.”
“Berengsek, bajingan. Kudoakan kamu ejakulasi dini di ranjang Raline!”
Dia mengirimkan tiga pesan berturut–turut dan semuanya dapat memicu amarah Theo