Chapter Bab 135
Bab 135 Akan Ada Korban Jiwa
“Kamu mau menunggunya?” Theo mempertahankan ekspresi cueknya, tetapi kalau didengarkan dengan saksama, terdengar kekesalan yang terselubung di dalam suaranya.
Kayla bersandar di kursi besi, lalu memejamkan separuh matanya, seolah–olah hampir tidur. “Ya.”
Nathan menyelamatkannya dan masih terkurung di ruang interogasi. Dia belum tahu apa yang terjadi pada Nathan, bagaimana mungkin pergi begitu saja?
Amarah yang Theo tahan dengan susah payah tiba–tiba meluap ke puncak. Theo langsung menariknya dari kursi sambil berkata, “Aku sudah menghubungi Darius. Dia akan baik–baik saja, kuantar kamu
pulang untuk beristirahat dulu.”
Tindakan Theo terlihat kasar, tetapi tidak menyakiti Kayla. Tatapannya sangat tajam dan bibirnya
tipisnya seolah–olah sedang menahan sesuatu.
*Paling lama tiga jam dia sudah bisa pulang. Tapi kalau kamu bersikeras untuk tinggal di sini, mungkin besok yang akan kamu dengar adalah kabar penahanannya. Suara Theo dipenuhi dengan ancaman. Hasil pemeriksaan luka belum keluar, penyelesaian seperti apa yang kamu inginkan, hah?”
Kayla membelalakkan matanya sambil menatap Theo dengan kaget. Dia yakin Theo bisa melakukan hal
licik seperti ini!
Lalu, dia mengeluarkan tangannya dari genggaman Theo dengan kesal. “Aku akan pulang sendiri.”
Sesampai di depan pintu kantor polisi, Kayla bertemu dengan Darius yang mengenakan jas kulit dan membawa tas kerja. Kayla mendengus dingin dan berjalan melewatinya.
Pria ini tampak sangat terpelajar, tetapi sebenarnya dia sama seperti Theo yang tidak bermoral itu.
Memang benar, manusia dibagi menjadi beberapa kelompok. Orang jahat akan bergaul dengan orang
jahat.
Darius kebingungan..
Kayla hendak naik taksi, tetapi pada akhirnya Theo tetap memasukkannya ke dalam mobil secara paksa. Untungnya ketika dia mengatakan ingin kembali ke apartemen, Theo tetap mengantarnya walaupun
tidak senang.
Di sepanjang perjalanan, tidak ada yang berbicara sehingga suasana menjadi sangat sunyi.
Setelah mengirim pesan kepada Nathan, dia memejamkan matanya sambil bersandar di kursi. Tubuhnya menghadap ke jendela.
Samar–samar, dia mendengar Theo berkata, “Maaf, aku datang terlambat.
Meskipun suara Theo sangat pelan, dia dapat mendengar dengan jelas.
Kayla tiba–tiba membuka matanya dan cahaya lampu jalan dari luar jendela menyinari matanya. Seketika, dia tidak tahu di mana dirinya berada. Setelah beberapa saat, dia pun tersadar. “Aku nggak menyalahkanmu, nggak usah meminta maaf.”
Meskipun saat Nathan muncul, dia sempat berharap orang itu adalah Theo….
Namun, dia sadar bahwa pikirannya sangat tidak realistis. Theo tidak mungkin datang secepat itu tetapi dia tidak bermaksud untuk menyalahkan Theo karena datang terlambat
“Kamu sudah sangat cepat.” Apa yang dikatakan Kayla adalah fakta. Kalau dia berganti posisi dengan Theo, saat dia sampai mungkin mayat korban sudah tidak dapat ditemukan.
Namun, Theo tidak merasa gembira karena “pengertiannya“, sebaliknya suasana hatinya malah menjadi lebih buruk.
Theo memang bersyukur, terutama ketika polisi menemukan pisau di tubuh orang–orang itu. Namun pada saat yang sama, dia juga tidak senang.
Theo menatap Kayla untuk cukup lama, lalu tersenyum dengan penuh maksud. Tentu saja kamu nggak menyalahkanku karena ada orang yang lebih cepat dariku.”
Nada bicara yang menyebalkan ini membuat Kayla ingin menamparnya!
“Ya, kalau bukan karena Nathan datangnya cepat, mungkin kamu hanya punya kesempatan untuk berkabung.”
Apakah tidak menyalahkannya adalah hal buruk? Karena dia begitu suka disalahkan, Kayla pun menyalahkannya!
“Sudah malam, kenapa Nathan pergi di sana?”
“Mungkin karena kita punya koneksi batin.” Kayla sama sekali tidak takut ucapannya akan menyinggung Theo. “Itulah sebabnya dia bisa menjadi orang pertama yang datang menyelamatkanku ketika aku
berada dalam bahaya.”
“Hmph.” Theo tersenyum sinis. “Kamu nggak takut dia akan ditahan lebih lama?”
Mendengar ucapan ini, Kayla langsung menoleh untuk mendeliknya.
Sesampai di apartemen, Theo tidak masuk ke dalam. Namun, beberapa orang turun dari mobil yang berhenti di belakang mobil Theo. Kayla tidak asing dengan dua orang di antaranya, mereka sudah pernah datang ke sini untuk mengawalnya.
“Naiklah, malam ini mereka akan berjaga di depan rumahmu. Nggak usah takut.”
Setelah termenung beberapa saat, Kayla pun berbalik pergi.
Para pengawal dihentikan oleh satpam yang bertugas menjaga pintu masuk. Entah karena mereka melihat Theo atau prosedur bertamu di apartemen ini memang rumit, mereka diizinkan masuk setelah
melaporkan identites masing–masing. Kayla sudah berjalan jauh, di bawah penerangan cahaya, punggungnya tampak agak buram dan kabur.
Sesampai di rumah, Kayla meluangkan waktu untuk menelepon Nathan. Setelah memastikan Nathan baik–baik saja dan sudah meninggalkan kantor polisi, dia baru merasa lega.
Kamu sungguh kejam. Sebelum aku dibebaskan, kamu sudah pergi? Bukannya bawa aku ke rumah. sakit untuk memeriksa apakah aku terluka.”
Kayla menjawab, “Maaf, aku….”
fiathan menyelanya, “Lupakan saja, aku tahu pasti Theo yang memaksamu. Dengan sifatmu yang baik. hati, bagaimana mungkin meninggalkanku begitu saja? Jangan lupakan soal makan bersama, setelah masalah ini selesai, kamu harus mentraktirku.”
“Oke
Setelah menutup telepon, Kayla melemparkan ponselnya ke tempat tidur dan pergi ke toilet untuk mandi.. Ketika dia keluar, dia menemukan Darius meneleponnya dan layar masih menyala. Sepertinya Darius baru saja menutup telepon.
Dia hanya berinteraksi dengan Darius ketika ingin membicarakan soal gugatan ceral. Namun, Darius. adalah orang yang tahu batas. Sekalipun ingin membicarakan soal perceraian, Darius selalu menghubunginya di siang hari. Mengapa meneleponnya malam–malam begini?
Mereka baru saja bertemu di kantor polisi dan Darius Juga tidak terlihat ingin mengatakan sesuatu
padanya.
Saat Kayla mempertimbangkan apakah ingin membalas telepon Darius, Darius sudah meneleponnya.
Sebelum dia berbicara, Darius sudah berkata, “Nyonya Kayla, cepat datang ke Vila Aeris.”
Jika dibandingkan dengan sikapnya yang sedingin robot setiap bertemu dengan Kayla, kali ini nada bicara Darius diselimuti dengan suatu emosi. Meskipun tidak jelas, suaranya terdengar sangat
mendesak.
Kayla mengerutkan keningnya. “Ada apa?”
Kalau bisa, dia tidak ingin pergi ke Vila Aeris.
Darius berkata, “Akan ada korban jiwa.”