Chapter 385: Pagi Hari yang Berisik
Saat Randika kembali ke rumah, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam.
Randika naik ke lantai atas tanpa menyalakan lampu, dia langsung mengendap-endap masuk ke kamarnya Inggrid.
Setelah diperhatikan baik-baik, Inggrid terlihat tidur sendirian, tidak ada tanda-tanda Hannah di sana. Rupanya adik iparnya itu tidur di kamarnya sendiri.
Randika dengan perlahan mengganti bajunya dan masuk ke dalam kasur. Karena Inggrid sudah tidur, dia tidak ingin membangunkannya hanya untuk berhubungan badan.
"Sudah pulang?"
Namun tiba-tiba, suara Inggrid dapat terdengar dan dia sudah menatap Randika lekat-lekat.
Randika terkejut, tetapi senyumannya langsung menjulang tinggi. "Sayang, kenapa kamu belum tidur?"
Pada saat ini, Inggrid hanya menatapnya tajam tanpa berkata apa-apa.
"Jangan begitu, aku ada urusan." Randika merasakan rasa benci di tatapan mata istrinya itu.
"Jadi urusanmu lebih penting daripada aku?" Inggrid pura-pura terlihat marah dan cemburu.
Ekspresi dan suaranya membuat hati Randika sakit.
"Sayang, bukan itu maksudku. Urusanku tadi benar-benar penting." Wajah Randika terlihat panik. "Tidak mungkin aku meninggalkan istriku yang cantik, aku berharap aku bisa berada di sisimu selamanya."
Tangan Randika membelai rambut Inggrid, tetapi Inggrid langsung menghindar dan membuat jarak di antara mereka.
"Gombal."
Randika kembali memeluk Inggrid dari belakang. Ketika tangannya mulai meraba, tangannya ditangkap oleh Inggrid.
"Harus bagaimana untuk meyakinkanmu?" Randika berbisik di telinga Inggrid. Dia mulai memberi rangsangan kepada Inggrid. Perempuan ini mulai takluk oleh teknik foreplay Randika, tubuhnya mulai panas.
"Hannah tidak ada di sini?" Tanya Randika dengan suara pelan.
"Dia tidur di kamarnya." Jawab Inggrid.
"Kalau begitu, jangan terlalu keras berteriaknya." Kata Randika. Dia langsung berputar dan menindih Inggrid dari atas, dia menangkap kedua tangan Inggrid dengan erat. Mereka berdua berpelukkan dan berciuman dengan panas.
Seolah-olah tersihir oleh Randika, Inggrid merasa dirinya melayang di awan.
Di tengah ciuman mereka, tangan Randika tidak pernah berhenti meraba dan menyiapkan Inggrid untuk babak utama.
Setelah beberapa menit pemanasan, Randika mulai mencopot baju dan celana Inggrid.
Sebelum memulainya, Randika menatap Inggrid. "Sungguh cantik sekali…"
...…
Keesokan harinya, setelah burung berkicau, Randika dan Inggrid turun bersama-sama ke lantai bawah untuk sarapan.
Ketika Hannah melihat Randika dan Inggrid berjalan bersama-sama, dia tidak bisa mendengus dingin terutama setelah melihat ekspresi puas Randika. Kemarin malam mereka berdua pasti melakukannya.
"Kak, kenapa tadi pagi kamu tidak ada di kamarmu?" Kata Hannah sambil tersenyum.
Randika duduk di seberangnya Hannah. "Tentu saja aku tidur di kamar kakakmu, kita kan suami istri pasti tidurnya sekamar."
Hannah hanya tersenyum dan membalas. "Terus kalian ngapain saja tadi malam?"
Ketika Randika mau membalasnya dengan cerita mesum, Ibu Ipah datang dan membawakan sarapan mereka. "Nak Randika, nona, tolong jangan terlalu banyak bicara di meja makan. Cepat dimakan sarapannya mumpung masih hangat."
Hannah mendengus dingin dan menatap tajam Randika. Kemudian dia mengambil piring dan mengambil nasi, Randika juga melakukan hal yang sama. Setelah mengambil nasi, mereka berdua mau mengambil lauk pagi hari ini yaitu dadar jagung dan sayur bening. Ketika Randika mau mengambil dadar jagung tersebut, dia menyadari sendok Hannah juga berusaha mengambil dadar jagung yang sama dengannya.
"Kak, kenapa kamu selalu mau mencuri makananku?" Hannah mengangkat kepalanya.
Sialan, dia main nuduh saja!
"Ya sudah, ambil saja dadar jagung ini." Randika mengambil kembali sendok kosongnya sambil tersenyum, kali ini dia berusaha mengalah.
"Oh, tiba-tiba aku tidak mood lagi makan dadar jagungnya." Hannah juga mengambil kembali sendoknya.
Mereka berdua hanya saling menatap. Inggrid mengabaikan mereka dan mengambil lauknya.
Pada saat yang sama, Randika dan Hannah kembali meraih dadar jagung yang sama lagi.
"Punyaku, dadar jagung ini punyaku!" Randika dan Hannah secara bersamaan berkata hal yang sama.
"Mana mungkin itu punyamu, bukannya kamu sudah makan 1 tadi di dapur?" Kali ini Randika tidak mau mengalah.
"Kak…" Kali ini Hannah menatap Inggrid dengan wajah memelas.
Inggrid hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum pahit. Dia kemudian menampar tangan Randika. "Sesekali bertindaklah selayaknya orang dewasa, kasihan Hannah, dia masih lapar."
Karena istrinya yang berkata seperti itu, Randika hanya bisa menyerah. Moodnya berubah menjadi kesal.contemporary romance
Wajah Hannah benar-benar terlihat bangga. Inggrid hanya bisa menghela napasnya dan memberikan lauk yang dia ambil tadi dan menaruhnya di piring Randika. "Cepat makanlah, kita perlu masuk lebih pagi hari ini."
Melihat perhatian istrinya, Randika bersemangat kembali. Hannah hanya memalingkan wajahnya dengan cemberut.
Setelah sarapan, Randika dan Inggrid berangkat bersama menuju kantor. Karena Hannah baru saja selesai ujian, jadwal kuliahnya jauh lebih santai untuk sementara waktu.
Ketika Randika sampai di perusahaan, tiba-tiba dia teringat akan mengabari Deviana ketika dia mendapatkan info mengenai pembunuh abnormal itu.
"Dev, kemarin aku bertemu dengan pembunuhmu itu."
Deviana terkejut di balik telepon, dia lalu bertanya. "Apakah kamu menangkapnya?"
"Tidak, dia kabur." Jawab Randika.
"Apa kamu melihat mukanya?" Deviana mulai menanyai Randika, dia juga merekam percakapan mereka ini.
"Dia memakai topeng waktu itu, aku tidak bisa melihat wajahnya." Ketika berkata seperti ini, entah kenapa wajah Roberto muncul di benaknya.
Dia menduga bahwa pembunuh bertopeng itu adalah Roberto. Meskipun tidak ada bukti, instingnya mengatakan bahwa Roberto adalah tersangka nomor 1.
"Apa ada ciri-ciri yang lain?" Tanya Deviana.
"Tingginya kira-kira 180 cm, dia tidak gemuk juga tidak kurus. Terlebih lagi, aku berhasil melukai tangannya kemarin."
Setelah mendengar itu, Deviana mengerutkan dahinya. "Ciri-ciri yang kamu sebutkan itu terlalu umum, bahkan jika ada luka di tangannya, itu mudah disembunyikan dan mustahil menyebarkan informasi tidak spesifik seperti itu."
"Tidak apa-apa, nanti kalau aku tahu lebih banyak lagi, aku akan menghubungimu lagi." Balas Randika.
"Baiklah kalau begitu, aku akan menyampaikan informasimu ini ke rekan-rekanku."
Setelah Deviana menutup teleponnya, Randika berjalan kembali menuju laboratoriumnya. Masih ada cukup banyak pekerjaan yang menunggu dirinya.
Viona hari ini datang lebih pagi, begitu pula dengan Adrian dan Axel. Semua orang segera menyapa dirinya kemudian kembali bekerja.
Ketika mereka sibuk bekerja, waktu berlalu dengan cepat. Tanpa mereka sadari, hari sudah siang. Para staf departemen parfum ini mulai bersiap makan siang dan berdiri sambil meregangkan tubuh mereka.
"Ayo cari makan."
"Sepertinya depot di ujung jalan itu lagi sepi, ayo makan di situ saja."
"Traktir ya, aku lupa bawa dompet!"
"Sialan, ngutang terus kerjaanmu!"
Beberapa orang mulai berkerumun pergi, hanya Viona yang berjalan menuju Randika.
"Ran, ayo makan siang bareng."
Randika menatapnya dan tersenyum. Ketika dia mau menjawab, beberapa perempuan menggoda Viona. "Wah Viona mau kencan sama pak Randika?"
Teman-temannya ini tertawa sedangkan Viona tersipu malu.
"Nanti malam saja kalian makan bareng, siang ini bagaimana kalau sama-sama kita? Kita janji tidak akan mengganggu nanti."
Setelah berkata seperti itu, Viona ditarik pergi oleh mereka.
Randika hanya bisa tersenyum pahit, dia sama sekali tidak berdaya di bawah serangan seperti itu. Dia akhirnya berniat keluar dan berniat untuk makan siang sendirian.
Pada saat ini, tiba-tiba muncul sosok Hannah dari balik pintu.
done.co