Chapter Bab 90
Bab 90 Rasa Malu Dalam Dirinya
Mendengar ucapannya, Vivin tersadar dari lamunannya itu. Dengan mata berkedip-kedip kebingungan, Vivin teringat akan
pertanyaannya atas tubuhnya itu.
Seketika dia malu dan buru-buru mengalihkan pandangannya.
Melihat istrinya tersipu malu sampai memejamkan matanya, Finno menaikkan alis dan mempertimbangkan tindakan selanjutnya.
Dengan kemeja yang dibiarkan tidak terkancing, dia berjalan menuju Vivin yang menghindari tatapannya. Dia membungkukkan
badannya dan memegang dagu Vivin, memaksa mengarahkan wajahnya untuk fokus padanya lagi.
“Vivin.” dia berbisik lembut dan jantan. “Lihatlah sesukamu. Aku janji kau tidak perlu membayar atas hal ini.”
Mata Vivin terbelalak.
Apa aku berhalusinasi? Atau seiring berjalannya waktu Finno semakin tidak malu-malu lagi?
Dasar pria tidak tahu malu. Vivin tidak pernah berharap dapat mengimbangi rasa percaya diri seperti itu seumur hidupnya.
Dengan wajah memerah, ia mau tidak mau menatap dada bidang. laki-laki di hadapannya itu.
Takut Finno menangkap kegugupan di wajahnya, Vivin buru-buru mengganti topik obrolan. “Um... menurutmu bagaimana?
Apakah kakek akan tahu bahwa kita tidak melakukan ‘itu’ semalam?”
Dengan menaikan alisnya, Finno sedikit memundurkan tubuhnya dan mengangkat bahunya, “Mungkin. Memangnya kenapa?”
“Jadi...” berada di dekatnya membuat Vivin resah. Ucapannya keluar begitu saja dari mulutnya tanpa sempat dia
memikirkannya, “Apakah menurutmu kita akan dimarahi karena tidak...”
Alis Finno naik semakin tinggi, “Vivin, apa yang sebenarnya ingin kau katakan, hmm?”
Vivin segera tersadar akan maksud dari kata-katanya itu dan ia merasa seperti sedang melakukan bunuh diri.
Bodohnya aku berkata demikian! Aku justru membuat diriku dalam masalah!
“A... Aku tidak bermaksud seperti itu....” dia gelagapan sambil berusaha jelaskan, takut Finno akan salah paham.
Sambil cekikian kecil, Finno berkata, “Kalau begitu, katakan apa maksudmu? Mungkin aku bisa dapat pencerahan?” Saat dia
mengucapkan kata demi kata dengan nakal, napasnya berhembus tepat di ujung hidung Vivin. “Tidakkah kau tahu bahwa laki-
laki memiliki kebutuhan khusus ketika bangun di pagi hari?”
1/2
Wajah Vivin kini benar-benar memerah seperti tomat saat dia semakin tergagap. “A-A, Aku tidak bermaksud...”
Sebenarnya, Finno bermaksud bergurau dengan ucapannya itu, tetapi tidak menyangka perempuan mungil di hadapannya ini
menganggapnya dengan serius. Melihat wajahnya yang memerah tersipu malu, sudut bibirnya menaik, menyeringai.
“Aku hanya bergurau,” bisik Finno di telinganya. Vivin mendengarnya, tetapi sebelum dia menghela napas lega, bagian kedua
kalimat laki-laki membuat Vivin berkeringat sekujur tubuh. “Bagaimanapun juga, aku mengerti maksudmu. Karena ada
kebenaran di situ, maka kita harus melakukan sesuatu.”
“Hah?” Vivin kehabisa kata-kata. Sebelum dia sempat bertanya apa yang dipikirkan Finno, laki- laki itu sudah membungkukkan
badannya dan menenggelamkan kepalanya di leher jenjangnya.
“Ah!” Vivin kaget dan berusaha mengelak, tetapi Finno yang sudah menduga akan hal ini, menggenggam kedua tangannya dan
mendorong tubuhnya ke tempat tidur. Vivin yang tidak bisa. bergerak lalu terjatuh, “F-Finno... apa... yang kau lakukan?”
Sebuah sensasi lembut dan menggelitik merangkak naik ke atas lehernya. Vivin bisa merasakan bibir Finno menggigit dan
menghisap diiringi hembusan napas di sekitar lehernya. Vivin kaget rasanya ingin teriak, tetapi perasaan menggelitik ini, sensasi
sensual yang dia rasakan di sekujur tubuhnya ini, membuatnya seperti berada di atas kesenangan yang membingungkan.
Tak lama kemudian, Finno berdiri perlahan, ujung bibirnya menaik, menyeringai puas. Dia tidak bisa berpaling dari tanda merah
yang dia tinggalkan di leher Vivin.
Tak peduli dengan rasa malu yang menyergap perempuan di hadapannya ini, dia “Kurasa ini sudah cukup.”
pun berbisik,
Sebagai reaksinya. Vivin buru-buru mendorong Finno menjauh darinya, lalu melompat dari tempat tidur dan buru-buru menuju
ke cermin.
Vivin menatap dengan teliti di depan cermin, lalu tercengang dengan apa yang dia lihat.
Dia bisa lihat wajahnya yang memerah, dan matanya yang berbinar-binar. Ada sesuatu yang tidak biasa namun menarik dalam
tatapan matanya.
Apa ini... benar-benar aku?
Bagaimanapun ini semua bukanlah yang terpenting.
Satu-satunya yang menyita perhatiannya adalah cupang yang sangat jelas menghiasi lehernya itu.
“Finno Normando!” Dia benar-benar kesal. “Kau... bagaimana aku bisa bertemu dengan orang- orang dengan keadaan seperti
ini!”
Dengan cepat Finno menenangkannya, merangkul tangannya dengan lembut dari belakang sambil tertawa kecil “Aku telah
meninggalkan tandaku.