Chapter Bad 1
“Tasya, tolong! Aku dilecehkan di kelab!” Suara putus asa dan tak berdaya sahabatnya adalah satu-satunya yang ada di benak
Tasya Merian saat dia bergegas menuju kelab malam. Ruang 808. Tasya menatap plakat nomor di pintu ruangan pribadi itu.
Nomor ruangan tersebut sama dengan yang dikirimkan sahabatnya, Helen Sanjaya, kepadanya melalui pesan teks. Tanpa
berpikir panjang, wanita itu mendobrak pintu untuk menyelamatkan temannya. Ketika pintu berayun terbuka, dia disambut oleh
kegelapan yang ada di dalamnya. Tiba-tiba, sebuah tangan kuat mencengkram pergelangan tangannya dan menyeretnya ke
dalam ruangan gelap itu, diikuti oleh bunyi gedebuk keras ketika pintu dibanting menutup. “Hei—siapa kau, dan apa yang kau
inginkan?!” Tasya berteriak, matanya bergerak liar saat dia mencoba melihat sekeliling. “Tenanglah dan aku akan
memperlakukanmu dengan baik.” Suara dalam dan serak seorang pria berbicara di dekat telinganya. Detik berikutnya, Tasya
dilempar begitu saja ke sofa, dan sebelum dia bisa bangkit, sebuah tubuh ramping dan kuat menindihnya. Tasya menangis
tertahan ketika sepasang bibir yang terasa seperti pepermin menangkap bibirnya. Pria yang berada di atasnya terasa begitu
panas ketika kulit mereka bersentuhan. Perasaan putus asa membuatnya menangis. Tasya mencoba untuk melawan, namun
pada akhirnya, dia tidak bisa melakukan apa pun selain menghadapi keganasan pria itu. Satu jam kemudian, Tasya terhuyung-
huyung keluar dari ruangan itu dengan penampilan yang berantakan. Dia baru saja mengalami mimpi buruk, namun hal itu tidak
membuatnya berhenti mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya. Dia baru saja hendak menelepon nomor Helen ketika dia
melihat sekelompok pria dan wanita berjalan keluar dari pintu samping. Di bawah cahaya lampu, dia langsung mengenali kedua
wanita yang ada dalam kelompok itu. Salah satunya adalah Helen, sahabatnya yang berteriak minta tolong di telepon
sebelumnya, sementara yang satu lagi adalah saudara tiri Tasya, Elsa Merian. Kedua gadis itu berjalan berdampingan dengan
tangan tertaut, seolah-olah mereka adalah teman terdekat satu sama lain. Rasa terkejut dan marah mewarnai wajah Tasya
ketika dia melihat mereka. “Berhenti di situ, Helen!” Dia berteriak lantang dari kejauhan sementara tinjunya mengepal erat di sisi
tubuhnya. Mendengarnya, Helen dan Elsa berbalik untuk menatapnya. Tasya memelototi keduanya dengan tatapan marah dan
wajah pucat saat dia membentak Helen, “Kenapa kau berbohong padaku?!” Helen menyeringai. “Bukan salahku kalau kamu
selalu mudah tertipu, Tasya.” “Apa kamu bersenang-senang dengan gigolo itu di sana?” Elsa bertanya dengan nada yang
terdengar seperti nyanyian sembari tersenyum jahat. Baru pada saat itulah Tasya menyadari bahwa mereka berdua telah
menjebaknya. Kesucian yang dia junjung tinggi selama sembilan belas tahun terakhir kini telah dikorbankan untuk kesenangan
jahat mereka. Saat ini, tatapan mata Helen begitu dingin sementara dia mendidih oleh amarah, “Apa kamu benar-benar mengira
aku adalah temanmu, Tasya? Aku hidup dalam bayanganmu sejak pertama kali kita bertemu! Aku benci padamu dan aku tidak
menginginkan apapun selain menghancurkan wajahmu itu!” Elsa, di sisi lain, langsung menyela dengan cemoohan, “Aku punya
bukti yang aku butuhkan untuk menunjukkan kepada Ayah bahwa kamu telah menjual dirimu sendiri di kelab demi uang. Tidak
butuh waktu lama hingga kau diusir dari rumah!” “Kalian berdua—” Tasya benar-benar marah sehingga dia sempoyongan.
Tubuhnya tercabik-cabik setelah cobaan berat yang dia alami. Ditambah pula dengan beban pengkhianatan temannya dan
kekejaman saudarinya yang secara bersamaan nyaris merobohkannya. “Ayo pergi, Helen! Kita tidak ingin terlihat membawa
sampah, bukan?” Dengan tangan yang melingkar di lengan Helen, Elsa menuntunnya menuju mobil sport yang dia parkirkan di
tepi jalan. Tiga hari kemudian, di Kediaman Merian, terdengar suara dalam seorang pria yang berteriak marah, “Kau menjadi
perempuan bayaran demi uang hanya karena aku tidak mengizinkanmu melanjutkan studi ke luar negeri? Bagaimana bisa aku,
Frans Merian, memiliki seorang putri yang tak tahu malu sepertimu?” “Ayah, aku tidak melakukan—” “Kamu tidak
melakukannya? Tapi kamu melakukannya, Tasya! Bagaimana bisa kamu melakukan hal tidak senonoh semacam itu? Apa kami
membuatmu kelaparan, atau apakah kami membuatmu kehilangan sesuatu? Aku tidak percaya kamu akan menjual diri kepada
sembarang orang di kelab malam yang menjijikan. Untuk kebaikanmu sendiri, kuharap kamu tidak membawa pulang penyakit
apa pun ke rumah ini. Siapa yang tahu penyakit apa yang bisa kau tularkan kepadaku dan putriku.” Wanita yang mengenakan
perhiasan dan pakaian bagus itu mencibir dari tempat duduknya di sofa. “Ayah, aku benar-benar tidak melakukannya. Aku—”
Tasya mencoba menjelaskan. Namun, Frans tidak ingin mendengar sepatah kata pun darinya. Pria itu memelototinya dengan
marah saat dia membentak, “Jadi begitu. Kau masih berbohong padaku. Keluar dari rumah ini sekarang juga! Mulai sekarang,
kau bukan lagi anakku!” Sementara itu, di tangga, Elsa menyaksikan adegan ini dimainkan selagi dia bersandar di pegangan
tangga sambil bertopang dagu. Segalanya berjalan persis seperti yang dia rencanakan. Dalam hitungan menit, Tasya akan diusir
dari rumah dan berkeliaran layaknya anjing liar yang menyedihkan. Di ruang tamu yang terletak di lantai bawah, Tasya terdiam
ketika melihat ekspresi murka dan kecewa di wajah ayahnya. Tanpa berkata-kata, wanita itu bangkit dari tempat duduknya dan
berjalan menaiki tangga untuk mengemasi barang-barangnya. Dia baru saja mengitari tangga ketika Elsa menghalanginya.
Dengan angkuh, gadis yang lebih muda itu menyilangkan tangan di depan dadanya dan mencibir, “Keluar dari sini! Jangan
berlama-lama layaknya perusak pemandangan. Rumah ini tidak akan pernah punya tempat untukmu lagi!” Tasya mengepalkan
tinjunya saat dia menatap ekspresi senang Elsa dengan penuh amarah. Melihat kebencian dan kemarahan di mata Tasya, Elsa
mencondongkan tubuhnya ke depan. “Apa? Apa kau ingin menamparku atau semacamnya?” Dia menghadapkan pipinya ke
arah gadis yang marah itu dan berkata dengan angkuh, “Kalau begitu, silakan!” Tanpa menahan diri, Tasya mengarahkan
tangannya ke wajah Elsa, menghasilkan sebuah tamparan keras. “Ah!” Elsa menjerit nyaring. “Kau baru saja memukulku! Ibu,
Ayah—Tasya baru saja memukulku!” Dia melolong sambil berlari menuruni tangga. Pingkan Hikari dengan cepat menarik
putrinya ke dalam pelukannya dan berteriak sembari menaiki tangga, “Beraninya kau menyerang putriku, Tasya! Apa-apaan?!”
Frans melirik ke arah jejak merah di pipi Elsa dan merasa sangat kecewa. Sejak kapan putri sulungku menjadi sangat
memberontak? “Ayah, sakit...” Elsa terisak dan dia membenamkan diri ke dalam pelukan ayahnya. Secara berlebihan, dia
menarik napas dalam-dalam seolah dia sangat kesakitan. “Keluar dari sini, Tasya!” Frans meraung sembari menaiki tangga.
Setelah mengemasi barang-barangnya, Tasya mengambil paspornya dan berjalan menuruni tangga. Hatinya menjadi membeku
ketika dia melihat bagaimana ayahnya sendiri memeluk Elsa seakan-akan gadis itu adalah sesuatu yang berharga. Tasya pun
tahu bahwa dia memang tidak memiliki tempat di hati pria itu. Frans hanya mendengar cerita dari perspektif Elsa alih-alih
bertanya kepada Tasya tentang kejadian mengerikan yang dia alami tadi malam. Sejak ibunya wafat, dia telah menghabiskan
bertahun-tahun hidup di rumah ini layaknya orang luar, karena ayahnya telah membawa pulang selingkuhan dan anak haramnya
untuk membentuk keluarga baru. Ibu Tasya yang malang tidak pernah mengetahui perselingkuhan suaminya, bahkan setelah
kematiannya. Aku tidak akan pernah kembali lagi ke tempat ini. Di dalam rumah, Elsa memperhatikan Tasya yang menyeret
kopernya keluar dari pintu depan. Senyum jahat tersungging di bibirnya. Aku akhirnya menyingkirkan perusak pemandangan
yang tidak berguna itu! ... Lima tahun kemudian, ketukan datang dari pintu depan sebuah apartemen di Bekasi. Wanita yang
tinggal di apartemen tersebut tengah mengamati desainnya ketika dia mendengar ketukan itu. Sedikit kebingungan, dia berjalan
menuju pintu dan membukanya dengan kesal. Ketika dia melihat dua pria Asia yang mengenakan setelan, wanita itu bertanya
dalam bahasa Cina, “Anda mencari siapa?” “Apakah Anda Nona Tasya Merian?” Salah satu dari kedua pria itu bertanya dalam
bahasa Indonesia. “Ya, benar. Dan Anda?” Tasya ditekan. “Kami diminta untuk mencarimu. Ibumu, Amalia Chandra, dulu pernah
menyelamatkan nyawa tuan muda kami. Nyonya besar yang kami layani ingin bertemu denganmu.” Wanita itu mengernyitkan
kening. “Siapa nyonya yang Anda layani?” “Nyonya Prapanca,” pria pertama menjawab dengan hormat. Mendengar hal ini,
Tasya mengerti apa yang membawa kedua pria ini kemari. Nyonya Prapanca adalah sosok wanita di belakang Grup Prapanca,
perusahaan konglomerasi terkemuka di negeri ini. Bertahun-tahun yang lalu, ibu Tasya telah mengorbankan hidupnya untuk
menyelamatkan cucu tertua Nyonya Prapanca. Tasya sangat bangga dilahirkan oleh seorang perwira polisi yang cakap dan jujur
seperti Amalia. “Maaf, tapi aku tidak ingin menemuinya,” Tasya berkata dengan tegas. Dia menduga bahwa keluarga Prapanca
ingin membalas kebaikan besar Amalia, namun dia tidak berencana untuk menerima kebaikan mereka sama sekali. Saat itu
juga, suara anak kecil yang penasaran terdengar dari suatu tempat di dalam apartemen itu, bertanya, “Bu, siapa itu?” “Bukan
siapa-siapa,” jawab Tasya dengan terburu-buru. Kemudian, dia berbalik untuk berbicara kepada para pria di pintu, “Maaf, tapi
aku benar-benar tidak ingin ada tamu saat ini.” Setelah itu, dia menutup pintu. Sementara itu, di pedesaan, seorang pria duduk
di sofa di dalam vila yang terletak di tengah bukit. “Apakah kamu sudah melacaknya?” “Ya, Tuan Muda Elan. Gadis dari kelab
malam lima tahun lalu itu baru saja menjual jam tanganmu di pasar barang bekas.” “Cari dia,” kata pria di sofa, suaranya dalam
dan berwibawa. “Baik, pak!”