Pak Theo, Nyonya Pergi Berkencan Lagi by Sakura

Chapter Bab 19



Bab 19 Aku Sungguh Menyesal 

Kayla yang dicubit oleh Theo pun merasa kesakitan. Dia memalingkan wajah untuk menghindari Theo. tetapi bagaimana bisa dia menandingi tenaga seorang pria? 

Melihat Kayla terdiam, Theo makin mendekat dan kemarahan di matanya membara. Namun, dia sudah mencoba yang terbaik untuk menahan amarahnya, Kayla tidak mungkin bisa merasakan emosinya lewat 

tatapannya

Bahkan suaranya sedikit lebih lembut dari blasanya. 

Dia mendekati Kayla sambil berkata dengan pelan, “Memangnya Ronan itu siapa, kamu harus memintal bantuan dari orang luar? Apa status Nyonya Oliver kurang berguna? Atau kamu enggan untuk menggunakannya?” 

“Theo, cubitanmu sungguh sakit.” Kayla masih berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Theo, tetapi tidak berhasil. Kulitnya terasa sakit perih karena kapalan kecil di ujung jarl Theo, mungkin sekarang dagunya sudah terluka. 

Kayla mengerutkan keningnya sambil berkata dengan kesal, “Kita akan segera bercerai. Aku meminta bantuan pada siapa, nggak ada urusannya denganmu!” 

“Cerai? Kamu rela? Setengah bulan yang lalu, kamu masih melepas pakaianmu untuk menggodaku. Bukannya kamu bilang ingin menjalani seumur hidup bersamaku?” 

Hal seperti ini terdengar menyenangkan di atas ranjang, tetapi terdengar menghina kalau dibahas di 

saat seperti ini. 

Kayla seolah–olah baru ditampar dengan keras, wajahnya memucat, tetapi dia tidak menunjukkan sedikit pun kelemahan di hadapan Theo. Sebaliknya, dia mengangkat sudut mulutnya sambil berkata dengan nada menantang, “Ya, bagaimanapun juga, dalam tiga tahun ini, kamu selalu bersikap seperti nggak berhasrat. Demi kebahagiaan selama sisa hidupku, aku harus memastikan apakah kamu mampu. Untungnya, sudah dipastikan, jadi aku memutuskan untuk bercerai.” 

Tangan Theo menegang. “Sebelum menikah kali itu, apa kamu belum cukup puas?” 

“Bukannya waktu itu birmu dimasukkan obat? Untuk mengantisipasi kelalaian, dosisnya sangat banyak. Sekarang, terbukti kalau kamu nggak mampu tanpa obat.” 

Kayla benar–benar mabuk. Wajah Theo seolah–olah berubah menjadi beberapa wajah dan kabur, dia bahkan tidak bisa melihat paras Theo dengan jelas, apalagi ekspresi Theo. 

Dia hanya mendengar perkataan Theo dan menjawab dengan tidak sadar, bahkan dia sendiri pun tidak memahami inti pembicaraan. 

Namun, saraf di otak Theo menegang dan kemarahan di hatinya makin membara. Dia menggertakkan giginya sambil berkata, “Kayla, bagus kamu!” 

Dia membuka pintu dan keluar dari mobil. Kemudian, dia menarik Kayla yang terbaring lemas di kursi menuju lift khusus Vetro. 

Dia adalah bos tempat ini dan memiliki ruangan pribadi. 

Lift berhenti di lantai 24. Seisi lantal ini adalah wilayahnya dan orang–orang perlu mengidentifikasi sidik Jari untuk masuk. Theo membawa Kayla masuk ke dalam kamar dan langsung melemparkannya ke tempat tidur. 

Melihat wanita yang meringkuk lemas di tempat tidur ini, ekspresinya menjadi makin suram. Dia perlahan–lahan melepas jasnya, lalu membuka kemejanya. Otot–ototnya yang kencang pun terlihat. 

Sebagai tuan muda dari keluarga kaya, bahkan ketika melakukan hal seperti ini pun, dia terlihat elegan dan sama sekali tidak terburu–buru. 

Awalnya, Theo tidak berniat melakukan apa pun pada Kayla, tetapi wanita ini. 

Sungguh perlu diberi pelajaran! 

—- 

Di sepanjang jalan, Kayla ditarik seperti karung oleh Theo. Saat ini, dia sangat pusing dan ingin muntah. tetapi dia sangat lemah hingga tidak memiliki sedikit pun tenaga selain berbaring. 

Dia merasakan sakit di kedua sisi pipinya. Mengingat kekasaran Theo tadi, dia pun meneteskan air mata. 

Pada saat–saat seperti ini, orang–orang akan menjadi lebih rapuh dan cenderung memikirkan… orang- orang yang biasanya tidak mereka pikirkan. 

Melihat Kayla menangis, hati Theo pun tergerak. Dia setengah berlutut di atas kasur dan hendak 

membawa Kayla pergi mandi, tapi Kayla malah bergumam, “Davin 

Suasana di dalam ruangan menjadi sangat hening ketika Kayla menyebutkan nama ini. 

Bahkan percikan kecil pun dapat menimbulkan ledakan besar

Theo memandangnya dan matanya menjadi sangat suram. Setelah beberapa saat, dia pun berkata, “Apa 

kamu bilang?” 

Suaranya tenang dan sama sekali tidak dingin, tetapi hanya orang–orang terdekatnya yang tahu kalau 

sikapnya ini lebih menakutkan daripada saat dia marah. 

Kayla memejamkan matanya dan tidak mengatakan apa–apa. Dia tertidur

Theo meraih dagunya untuk memaksanya bangun. “Kayla, siapa yang kamu panggil tadi?” 

Wanita itu terbangun, tetapi dia masih linglung. Dia menatap Theo dengan mata berkata–kata sambil berkata dengan suara serak, “Davin … seharusnya aku mendengarkanmu. Nggak menikah dengan Theo, aku menyesal, aku sungguh menyesal….” 

Theo menatap Kayla dengan galak sambil bertanya, “Menyesal?” 

Kayla tidak menjawab. 

Hanya terdengar isak tangis wanita di ruangan yang sunyi ini. Theo tidak tahu apakah Kayla kesakitan karenanya atau terpuruk. 

Theo menggesekkan tangannya di pinggang Kayla yang ramping dengan kuat sehingga kulit Kayla yang disentuhnya pun memerah. “Tiga tahun nggak menyesal. Begitu Davin kembali, kamu langsung menyesal?” (D 

Kayla terbangun karena rasa sakit yang muncul di tubuhnya, tetapi kepalanya masih pusing. 

Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari siapa pria di hadapannya ini. Dia mengerutkan keningnya sambil menghindar. Theo, jangan sentuh aku.” 

Kemarahan Theo yang tertahan benar–benar terpicu oleh kata–kata ini. Theo mengabaikan perlawanan Kayla dan langsung menarik pergelangan kakinya, lalu menekannya ke bawah. “Aku nggak boleh menyentuhmu? Jadi siapa yang boleh menyentuhmu? Davin? Atau pria yang kamu berikan tas itu?” 

“Kayla, hebat sekali kamu. Kamu menggunakan uangku untuk memelihara pria lain. Sudah begitu, bukannya pelihara yang bagus.” Dia mengusap wajah dan leher Kayla sambil melontarkan kata–kata yang menghina, “Kalau dari dulu kamu begitu agresif, aku mungkin sudah menghabisimu. Kamu nggak perlu repot–repot telanjang untuk menggodaku.” 

Theo membungkukkan badannya untuk menempelkan bibirnya ke bibir Kayla. Namun, sentuhan intim ini tidak mengurangi kata–kata kasarnya. “Pria itu berusia 40–an tahun, ‘kan? Kamu sudah kesepian selama tiga tahun, apa dia bisa memuaskanmu di atas ranjang?” 

Bibir Kayla bergerak. Sepertinya dia mengatakan sesuatu, tetapi suaranya terlalu pelan hingga Theo yang sedang marah pun tidak bisa mendengarnya. 

Kayla yang merasa tidak nyaman pun memalingkan wajahnya ke sisi lain sambil mengerutkan keningnya. Theo dengan kasar mengulurkan tangannya untuk meraih dagu Kayla, lalu membalikkan wajah Kayla. “Kenapa? Nggak berani melihatku? Atau ucapanku benar….” 

“Uek!” 

Pada saat ini, Kayla sudah tidak tahan lagi dan langsung muntah ke tubuh Theo. 


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.