Chapter 17: Untuk Bajingan Seperti Kau, Satu Garpu Saja Sudah Cukup
Dengan satu teriakan saja sudah cukup membuat seluruh restoran menjadi panik. Melihat orang-orang yang berbondong-bondong berlari menuju pintu keluar, membuat Viona menjadi panik juga.
Ketika dia hendak lari, sebuah tangan menahan dirinya. Randika nampaknya berusaha menenangkan dirinya.
"Jangan panik, aku ada di sini."
Ares sang Dewa Perang di sini, buat apa takut? Seribu orang pernah dia bunuh sekaligus, apakah hanya satu penyanderaan membuat dirinya menjadi takut?
"Ayo kita lihat apa yang sebenarnya yang telah terjadi."
"Baiklah." Entah kenapa Viona menyetujui saran Randika. Selama dia berada di sisi Randika, dia merasa sangat aman.
Di ruangan dalam, seorang pria sedang menodong pisau di leher seorang wanita yang dipeluknya. Dia lalu berteriak kepada kerumunan orang yang ada di dekatnya, "Jangan mendekat! Satu langkah saja maka dia akan mati!"
Sebagian besar orang yang ada di restoran sudah keluar, sebagian kecil yang tersisa ingin menyelamatkan perempuan tersebut.
"Kawan tenanglah. Letakkan pisau yang kau bawa dan mari kita bicara baik-baik." Seorang pria sedang berusaha menenangkan pelaku.
"Apa yang telah dikatakannya benar, kamu masih muda dan hari-harimu masih panjang. Kau tidak perlu melakukan semua hal ini." Seorang tante-tante juga berusaha menghiburnya. "Kau hanya akan membuat dirimu menderita. Dengarkan nasihat orang yang lebih tua ini dan letakkan pisaunya. Jika kau mempunyai beban hati yang dalam, kau bisa menceritakannya pada kita."
Manajer restoran segera tiba di lokasi kejadian dan berteriak marah pada bawahannya, "Apa yang sedang terjadi?"
"Pak, kita tidak tahu bagaimana detailnya. Pria itu sedang memakan makanannya dengan perempuan tersebut. Lalu tiba-tiba dia mengambil pisau dan menyekapnya." Kata seorang pramusaji.
Ini adalah salah satu mimpi buruk yang menimpa restoran ini!
Si manajer berusaha menenangkan dirinya dan memijat ruang di antara alisnya, berusaha memikirkan apa langkah selanjutnya.
Setelah beberapa saat, si manajer bertanya, "Apakah sudah ada yang memanggil polisi?"
Si pramusaji mengangguk, "Sudah kami telepon."
"Baguslah kalau begitu. Kejadian ini sudah di luar tanggung jawab kita, cepat evakuasi orang-orang dan aku akan mengamankan lokasi sebelum para polisi tiba."
Pramusaji itu dengan cepat mematuhi instruksi si manajer dan si manajer pun segera mendekati si pelaku.
"Halo tuan, aku adalah orang yang bertanggung jawab atas restoran ini. Bisakah kau ceritakan apa yang telah terjadi pada Anda?" Si manajer berusaha terlihat setenang mungkin sambil mengangkat tangannya, menunjukan bahwa dia hanya ingin berbincang.
Pria itu terlihat marah, matanya sudah terlihat sangat merah dan dipenuhi oleh rasa benci.
"Itu bukan urusanmu!"
Si manajer kembali berusaha menjalin komunikasi, "Aku tahu ini bukan urusanku. Aku hanya peduli denganmu yang masih muda tetapi sudah menyia nyiakan hidupmu. Kau masih punya banyak waktu untuk berbuat benar tetapi kalau kau sampai masuk penjara, maka waktu itu akan hilang."
"Aku tidak peduli!" Si pelaku kembali meraung marah kepada si manajer.
Si manajer mengerutkan dahinya dan mengatakan, "Hei apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau sampai berbuat seperti ini? Kalau kau tidak menceritakan apa yang telah terjadi, kami semua tidak bisa membantumu."
Kali ini pria tersebut hanya terdiam, kemudian dia menatap perempuan yang sedang dia cekik itu. Tiba-tiba pria itu menangis dan sambil tersedu-sedu mengatakan, "Febri… Si Febri ingin putus denganku!!"
"Siapa itu Febri?" tanya si manajer.
"Perempuan itu yang bernama Febri." Kata seorang pramusaji yang menemani si manajer.
Semua orang yang masih ada di sana kaget. Orang yang disanderanya adalah pacarnya dia sendiri?
Pria itu kemudian kembali menatap pacarnya dan berkata sambil menangis. "Aku mencintaimu sepenuh hatiku. Aku telah memberikan segalanya padamu. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan menemanimu sampai ajal menjemputku. Bukankah kau juga berkata demikian kepadaku? Apakah kau lupa masa-masa indah yang sudah kita lalui selama ini? Kau lupa tempat-tempat mewah yang kubawa kau ke sana?"
Febri yang merasakan bilah pisau di lehernya semakin bergetar ketakutan. Dia tidak menyangka bahwa kejadian hari ini akan berubah menjadi seperti ini.
Awalnya, hubungan mereka berjalan baik dan akhir-akhir ini hubungan mereka mulai renggang. Oleh karena itu, Febri membuat reservasi di restoran ini untuk mengakhiri hubungan mereka. Febri tidak menyukai gaya hidup pria tersebut. Dia suka bermalas-malasan dan hanya bermulut manis. Bagi Febri, pria ini bukanlah pria yang tepat dan dia ingin melanjutkan hidupnya.
Tetapi setelah Febri telah menyatakan maksud dari pertemuan mereka hari ini, pacarnya itu mengambil pisau dan mulai menyandera dirinya.
"Hei Feb, kenapa kau ingin putus denganku?" Kata si pria sambil menangis, "Bukankah kau mengatakan bahwa kau mencintaiku? Apakah kau berbohong selama ini? Apakah kau sudah menemukan lelaki lain selain diriku?
Sambil berkata demikian, pisau yang dibawanya semakin menusuk ke leher Febri dan mulai meneteskan darah. "Hei… Katakan padaku, apakah kau masih mencintaiku?"
Melihat darah tersebut, si manajer dan lainnya mulai panik. Si manajer hanya berharap bahwa semoga para polisi segera tiba.
"Ah!" Ketika pisau itu menancap kecil di lehernya, Febri tidak bisa menahan untuk tidak berteriak panik. Dia benar-benar ketakutan.
"Aku masih cinta!" Kata Febri sambil terbata-bata.
"Tidak mungkin… Tidak mungkin kau mencintaiku! Kalau kau masih mencintaiku, kenapa kau meminta putus?" Teriakan pria ini semakin menjadi-jadi. "Dasar pembohong! Kau benar-benar mengkhianati perasaanku!"
"Tenanglah terlebih dahulu. Sepertinya kau salah paham terhadap pacarmu itu. Pacarmu pasti memiliki alasannya tersendiri, jadi lebih baik kau membicarakannya dengan kepala dingin. Jadi letakkan pisau itu dan bicaralah baik-baik."
"Pergi kalian dari sini!"
Pria itu menarik pisau yang dia tempelkan di leher pacarnya dan mulai menganyunkannya ke depan, hal ini membuat takut si manajer.
"Kalian semua saja! Kalian tidak tahu apa-apa mengenai perasaanku!" Pria itu kemudian mengambil satu langkah mundur dan menempatkan pisaunya kembali ke leher Febri sambil mengatakan, "Jika kalian mengambil satu langkah lagi, maka aku akan membunuh si jalang ini."
"Baiklah, baiklah." Si manajer dengan cepat menurutinya, "Kami tidak akan bergerak lebih jauh lagi."
Melihat para kerumunan tidak mengambil langkah maju lagi, pria itu menatap kembali si Febri dan bertanya, "Kenapa… Kenapa kau ingin mengakhiri hubungan kita?"
Febri menelan ludahnya, dia menyesal bahwa dia merasa harus putus baik-baik dengan pria brengsek ini yang tidak bisa menerima kenyataan.
Si manajer dari jauh berusaha mengirimkan pesan lewat gerakan tubuhnya. Dia ingin menyampaikan bahwa apa pun yang terjadi Febri harus tetap tenang.
Tetapi Febri tidak mengerti apa yang disampaikan si manajer. Dia hanya menatap pacarnya itu dan mengatakan, "Kau ingin tahu kenapa kita putus? Apa kau kira aku senang melihatmu hanya bermalas-malasan setiap hari tanpa berusaha mencari kerja? Aku adalah wanita bodoh, bisa-bisanya aku dulu mau dengan pria malas dan tanpa harapan sepertimu."
"Kau bohong. Kau pasti telah berkencan dengan pria lain sebelum akhirnya memutuskan untuk putus denganku." Si pria itu semakin erat menggenggam pisaunya. Setelah itu terdengar jeritan kesakitan dari Febri. Ternyata si pria telah merobek bajunya dan menyayat dirinya pada lengannya. Walaupun lengannya hanya tergores, darah masih mengucur dari bajunya.
"Hei tenanglah." Si manajer ini benar-benar ingin menangis. Kejadian ini benar-benar tidak pernah dia pikirkan akan terjadi selama dia bekerja. Apes sekali nasibku bertemu kalian, pikirnya. Kenapa bisa hal ini terjadi di dalam kariernya.
Di saat ini, sebuah sirine telah terdengar dari arah luar dan terdengar orang berteriak, "Polisi telah tiba!"
Pada saat yang sama pula, seorang polisi perempuan dengan beberapa bawahannya masuk ke dalam restoran. Mata Randika terpaku pada pemimpin polisi tersebut, benar-benar bunga yang cantik.
Meskipun sedang dibalut oleh pakaian polisi dan celana panjang, wajah perempuan ini tetap berhasil membuat Randika klepek-klepek. Hidung mancung, bulu mata lentik dan terlebih aura yang perempuan ini pancarkan terasa hangat menandakan bahwa perempuan tersebut memiliki kepribadian yang tenang, hal ini memberikan kesan tersendiri pada Randika.
Kecantikannya tidak seperti istrinya maupun Viona. Memang masih perlu dipoles lagi, tapi kecantikannya yang sekarang sudah berhasil memikat hatinya.
Polisi bernama Deviana ini memimpin timnya dalam kasus ini, dan tugas pertamanya adalah mengevakuasi orang yang tidak diperlukan.
"Kalian bawa orang-orang ini keluar dan amankan lokasi." Perintah Deviana. "Siapa orang yang bertanggung jawab atas tempat ini?"
Si manajer segera menghampirinya dan menjelaskan apa yang dia ketahui.
Setelah mendengarnya, Deviana memasang wajah tidak percaya. Dasar lelaki bodoh, hanya masalah sepele seperti itu dia melakukan semua ini?
Tapi keselamatan setiap orang adalah hal utama.
Deviana kemudian menghela napas dalam-dalam dan berkata kepada para bawahannya, "Semuanya bersiaplah!"
Kemudian dia segera menuju jarak pandang si pelaku dan mengatakan, "Selamat siang bapak, aku adalah Deviana dari satuan kepolisian kota Cendrawasih. Jika bapak membutuhkan bantuan, kami akan membantu bapak."
"Pergi kalian semua! Aku tidak butuh bantuan apa-apa dari kalian!" Lelaki ini sudah tampak menggila dengan pisau yang masih diayun-ayunkan.
"Si jalang ini telah bermain-main dengan pria lain di belakangku. Sekarang setelah mendapatkan pria yang lebih tampan dan lebih kaya, dia langsung mencampakkanku! Dasar wanita murahan!" Pisau yang dipegangnya kembali menuju leher Febri dan hal ini membuat siapapun yang melihatnya kembali ketakutan.
Deviana menyimpulkan bahwa masalah ini sudah sangat gawat. Kalau hal ini terus berlanjut, dia takut bahwa pria ini akan melakukan hal nekat.
Perempuan itu berada dalam bahaya.
Di saat Deviana tengah berpikir, muncul suara dari alat komunikasinya. "Lapor, hasil pemeriksaan pelaku telah menunjukan bahwa dia memiliki karakter yang labil berdasarkan keterangan teman-temannya."
"Hmmm… jadi dia memiliki kecenderungan untuk melakukan hal ini sampai akhir. Apakah kalian mampu menundukkannya?"
"50%, kesempatan kita akan lebih baik apabila anggota unit khusus dikerahkan."
"Hubungi markas dan jelaskan situasi kita."
"Baik!"
Setelah itu, Deviana kembali melangkah ke arah pelaku dan mengatakan, "Tenanglah, kau tidak perlu melakukan semua ini. Perempuan itu juga tidak bersalah."
"Hahaha! Aku sudah tidak peduli lagi. Bahkan kalau hari ini aku mati, aku akan membawa si pelacur ini bersamaku ke dalam neraka."
Deviana sedang mencari kesempatan. Pelaku sudah tidak bisa lari karena belakangnya sudah tembok tetapi masih terdapat barang-barang yang menghalanginya dari arah samping. Oleh karena itu, untuk menaklukan si pelaku hanyalah sebuah tembakan dari arah depan. Tetapi hal itu sulit dilakukan karena adanya sandera.
Orang-orang yang mendengar hal ini mulai marah. Seorang tante-tante yang sebelumnya berusaha menenangkannya malah berteriak, "Dasar pria berengsek! Kalau mau mati jangan bawa-bawa orang lain!"
Ini gawat….
Deviana segera berbalik dan memarahinya, "Jangan memprovokasi tersangka."
Ketika si pria itu melihat mereka bertengkar, dia hanya tertawa keras. "Ibu itu benar. Aku memang sudah pasrah dengan nyawaku, tetapi sebelum aku mati aku harus memastikan bahwa perempuan ini akan mati bersamaku."
Febri semakin bergetar ketakutan. Mendengar kata-kata ini sekaligus merasakan pisau yang ada di lehernya itu semakin menancap, membuat dirinya berteriak sekencang mungkin.
"Jangan bergerak!" Tiba-tiba si pelaku berteriak ke Deviana. "Jika kau berani mengambil satu langkah lagi, aku akan membunuhnya!"
Sialan, bagaimana bisa dia begitu jeli.
Deviana semakin memikirkan beberapa skenario terburuk yang bisa terjadi di benaknya. Dia tidak bisa mundur sekarang.
"Bagaimana kalau kau meletakkan pisaunya terlebih dahulu? Kami di sini ada untuk membantu dirimu." Kata Deviana.
"Pergi! Memangnya apa yang bisa kau lakukan untukku?" Katanya sambil tertawa. "Apa? Kau takut aku akan membunuhnya?"
Di mana pasukan khusus? Deviana merasa situasi tiap detiknya semakin gawat.
Di saat ini, sebuah suara membuatnya kaget. "Apakah kau yakin bisa membunuhnya?"
Semua yang hadir di sana kaget, mata mereka segera menuju ke arah Randika.
Deviana segera menjadi marah. Bodoh sekali orang itu, bisa-bisanya dia malah memprovokasi tersangka.contemporary romance
"Hahaha! Bicara apa kau? Tidakkah kau lihat bahwa dia ada di tanganku dan pisau ini bisa menusuk lehernya dengan mudah?" Pria ini merasa bahwa kata-kata Randika sangat lucu.
Randika membalasnya dengan senyuman di wajahnya, "Aku rasa tidak. Bagaimana kalau begini, cobalah membunuhnya. Untuk bajingan seperti dirimu, aku hanya membutuhkan satu garpu."
Deviana menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Jika dia berada di samping Randika mungkin dia sudah membanting pria itu.
"Baiklah kalau begitu!" Si pria ini segera mengangkat tangannya tinggi-tinggi berusaha menikam pacarnya di lehernya.
"Ah!"
Semua yang ada di sana segera berteriak, jantung Deviana seakan-akan berhenti berdetak ketika melihat ayunan pisau itu segera jatuh. Namun, yang terjadi bukanlah adegan berdarah yang dikira orang-orang. Randika yang memegang sebuah garpu telah melemparnya dengan kecepatan tidak biasa. Sebelum pisau itu sempat menancap di leher Febri, tangan yang memegang pisau sudah tertancap oleh garpu lemparan si Randika.
"Ah!"
Pria tersebut segera berteriak kesakitan. Tangannya melepas pisau yang digenggamnya erat. Deviana segera melihat kesempatan untuk mengamankan si pelaku. Dia segera maju dan membanting pria tersebut. Dia segera mengamankan tangan pelaku dengan memborgolnya. Selama proses ini, si pelaku hanya bisa menangis kesakitan.
Para polisi yang ada di sana segera membantu atasan mereka itu.
Hanya dalam sekejap, kasus penyanderaan ini telah selesai.
Semua yang ada di sana masih terheran-heran. Di tangan si pelaku masih menancap garpu hingga setengahnya menancap dalam di area sekitar pergelangannya.
Pria yang melemparnya itu… apakah masih manusia?
Mata semua orang masih tertuju ke arah Randika. Mereka melihat dirinya dengan mata yang terkagum-kagum dan heran.
Viona, yang selama ini di sampingnya, masih melihat semua ini dengan mulut yang ternganga dan merasakan kagum yang amat sangat pada Randika.
Deviana yang sudah berhasil mengamankan si pelaku melihat sosok Randika yang menatap dirinya dengan wajah yang tersenyum. Polisi wanita ini masih terkejut dengan semua ini, kalau tidak ada campur tangan Randika maka korban mungkin tidak akan selamat tepat waktu.
done.co